Salam Konservasi,


Ini adalah blog dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
Blog ini merupakan sarana informasi tentang Taman Nasional Gunung Ciremai, baik dari sisi perlindungan, pengawetan maupun pemanfaatan.
Selain itu kami harapkan blog ini dapat kita jadikan sarana diskusi maupun rembug saran bagi pihak-pihak yang peduli akan keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai.



05 Maret, 2013

Pengendalian Tumbuhan Invasif Kaliandra (Calliandra calothyrsus) di Blok Munjul Masigit Resort Cilimus Oleh : Iwan Sunandi, S.Hut

Resort Cilimus terletak di 3 (tiga) Desa yaitu Setianegara, Linggarjati dan Desa Linggasana menurut wilayah administratif pemerintahan Desa. Batas wilayah pengelolaannya sebelah Selatan berbatasan dengan Resort Jalaksana, sebelah Timur berbatasan dengan PT. Geger Halang, sebelah Utara berbatasan dengan Resort Mandirancan dan sebelah Barat arah ke puncak Ciremai. Luas Resort Cilimus berdasarkan pengembangan resort dari 6 menjadi 11 resort ± 1.330 Ha, dengan ketinggian 700 – 3000 mdpl. Kawasan resort cilimus mempunyai topografi landai, berbukit dan bergunung ke arah puncak sampai ketinggian 3.078 mdpl. Jenis tanah yang ada merupakan tanah regosol, andosol dan latosol dengan kondisi tanah sebagian besar merupakan tanah berbatu yang didominasi oleh jenis alang-alang (Immperata cyllindrica) yang rentan terjadinya kebakaran hutan. Walaupun kondisi tanah didominasi oleh bebatuan, namun Resort Cilimus memiliki fungsi hidrologis yang sangat penting dimana terdapat 7 (tujuh) sumber mata air yaitu Cibulakan, Cikacu, Cinangka, Hulu Ciawi, Cikuwu dan Cikuda yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau telah tiba. Gambar 1. Peta Situasi Resort Cilimus SPTN Wilayah I Kuningan Sebagian besar penutupan lahan di kawasan Resort Cilimus merupakan vegetasi hutan. Baik hutan alam maupun hutan produksi eks Perhutani atau bekas lahan garapan dan sebagian besar didominasi oleh hutan alam primer. Pada hutan alam primer banyak ditumbuhi keluarga huru (Litsea spp), mareme (Glochidion sp), mara (Macaranga tanarius) dan saninten (Castonopsis argentea). Sedangkan untuk hutan produksi eks perhutani dan eks lahan garapan banyak ditumbuhi oleh Pinus (Pinus mercusii), Kopi (Coffea robusta), Alpukat (Persea americana), Pisang (Musa paradisiaca), Suren (Toona sureni), Manii (Maesopsis eminii), Cengkeh (Szygium aromaticum) dll. Jenis satwa (fauna) yang dapat dijumpai dikawasan Resort Cilimus antara lain satwa langka seperti Macan kumbang (Panthera pardus), Surili (Presbitys commata) dan Elang jawa (Spyzaetus bartelsi). Jenis lainnya adalah kera ekor panjang (Macaca fascicularis), Landak (Hystrix brachyura), kijang (Muntiacus muntjak), babi hutan (Sus scrofa), bajing (Calosciurus notatus), Lutung (Traciphytecus auratus) dan berbagai jenis burung berkicau. Gangguan Hutan Akibat Hadirnya Spesies Invasif Sebagai kawasan konservasi baru yang dibangun dari hutan produksi, tentunya kualitas potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya telah banyak mengalami perubahan berbeda dari ekosistem aslinya. Banyaknya lahan bekas tebangan dan garapan masyarakat yang belum sempat direhabilitasi merupakan PR tersendiri dalam membangun kawasan konservasi yang diimpikan. Pembangunan Taman Nasional sebagai areal penyangga kehidupan, perlindungan dan pengawetan kehati tidak mudah dilakukan mengingat besarnya tekanan dan gangguan dari kepentingan manusia disekitarnya seperti masih adanya pengambilan kayu bakar dan perburuan liar, masih ditemukan masyarakat penggarap di dalam kawasan, sering terjadinya kebakaran hutan yang diduga akibat ulah manusia. Selain adanya tekanan dan gangguan manusia tersebut, terdapat jenis gangguang lain yang dapat mengganggu keutuhan ekosistem kawasan konservasi. Salah satu gangguan tersebut adalah masuknya berbagai jenis tumbuhan yang tidak asli ke dalam kawasan konservasi. Tumbuhan yang tidak asli (introduksi) dapat mengganggu spesies lokal jika bersifat invasif. The National Invasive Species Counsil (2006) mendefinisikan spesies invasif sebagai spesies pendatang ataupun tidak yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi, lingkungan atau kerusakan pada manusia, hewan atau kesehatan tanaman. Sedangkan spesies introduksi adalah spesies yang diperkenalkan secara sengaja oleh manusia bukan untuk mempengaruhi suatu habitat melainkan untuk keuntungan hidup manusia dan sekelompok manusia. Spesies invasif dilaporkan telah merambah kawasan konservasi termasuk kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Jenis spesies invasif yang teridentifikasi di Taman Nasional Gunung Ciremai adalah jenis Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Penyebaran kaliandra ini terutama terjadi karena lahan garapan di dalam kawasan benar-benar telah menjadi lahan terbuka tidak sesuai dengan konsep Penanaman Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) sebelumnya. Program PHBM telah disalahgunakan oleh masyarakat setempat untuk menanami kawasan konservasi Gunung Ciremai dengan jenis yang tidak sesuai dengan keberadaan fungsi kawasan dan misi pemerintah daerah Kuningan sendiri sebagai Kabupaten Konservasi. Spesies invasif membahayakan spesies lainnya, hal ini karena kemampuan berkembang biak dan penyebarannya yang cepat sehingga mendominasi dalam penggunaan sumber makanan dan cahaya untuk pertumbuhan di lingkungannya. Tumbuhan invasif memiliki toleransi yang tinggi pada berbagai lingkungan. Setelah tumbuh, spesies ini akan mengeliminasi spesies asli dengan kemampuannya untuk berkembang biak secara cepat, penyebaran biji yang mudah, dan toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan sehingga spesies asli tidak mampu berkompetisi memperebutkan sumber daya. Mengenal Lebih Jauh Spesies Invasif Kaliandra Bunga Merah (Calliandra calothyrsus) Tumbuhan Kaliandra termasuk dalam famili Leuguminoseae sub famili Mimosaceae (Palmer et al, 1994) dengan habitus berupa pohon atau semak dan memiliki beberapa spesies. Jenis kaliandra di Gunung Ciremai adalah kaliandra bunga merah (Calliandra calothyrsus), dengan ciri-ciri: habitus berbentuk perdu (semak), batang berkayu, bertajuk lebat, tinggi mencapai 45 meter dan akar dapat mencapai kedalaman 1,5 – 2 m (Palmer et al 1994). (Gambar 2) Gambar 2. Kaliandra bunga merah (Calliandra calothyrsus) diblok Munjul Masigit. Kaliandra tumbuh baik pada semua jenis tanah dan memiliki kemampuan cepat tumbuh, tahan pangkasan, sistem perakaran dalam dan mampu membentuk bintil akar sebagai hasil simbiosis dengan Rhizobium. Menurut Palmer et al (1994) Kaliandra tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun, dan mampu beradaptasi pada daerah dengan ketinggian tempat lebih 1.700 m dpl jika kebutuhan fosfat dan air untuk fiksasi Nitrogen terpenuhi. Akibat Penyebaran Kaliandra di TNGC Penyebaran tumbuhan invasif Kaliandra ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan benih/ tanaman asli baik yang ditanam maupun yang tumbuh secara alami. Sehingga dalam waktu lama, akan mengakibatkan hilangnya spesies lokal karena spesies lokal tidak dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanggulangan dan pencegahan penyebaran tumbuhan Kaliandra. Bagaimana Mengendalikan Pertumbuhan dan Penyebaran Kaliandra? Pengendalian hama tanaman dapat dilakukan secara hayati, mekanis dan kimiaswi. Pengendalian hayati dilakukan dengan cara memanfaatkan musuh alami, memanipulasi inang, lingkungan atau musuh alami itu sendiri. Pengendalian hayati memiliki banyak keuntungan diantaranya beresiko kecil, tidak menyebabkan kekebalan, tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan, serta tidak memerlukan banyak campur tangan dari luar. Pengendalian secara kimiawi dilakukan dengan menciptakan kondisi lingkungan dengan bahan kimia sehingga lingkungan tersebut tidak mendukung pertumbuhan dan memutus siklus hidup tumbuhan pengganggu (Untung, 2001). Sedangkan pengendalian mekanis dilakukan melalui pembabatan dan membuat sekat agar tanaman kaliandra tidak menyebar ke areal tumbuhan lokal. Pengendalian spesies invasif kaliandra yang ada di resort Cilimus pada saat ini masih diupayakan dengan cara mekanis (pembabatan). Hal ini karena musuh alami lokal spesies Kaliandra belum teridentifikasi. Sedangkan pengendalian secara kimiawi dikhawatirkan akan ikut menghambat pertumbuhan dan bahkan mematikan spesies lokal yang ada (Iwan Sunandi, Red.)