Salam Konservasi,


Ini adalah blog dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
Blog ini merupakan sarana informasi tentang Taman Nasional Gunung Ciremai, baik dari sisi perlindungan, pengawetan maupun pemanfaatan.
Selain itu kami harapkan blog ini dapat kita jadikan sarana diskusi maupun rembug saran bagi pihak-pihak yang peduli akan keberadaan Taman Nasional Gunung Ciremai.



16 Juni, 2009

PROSEDUR PENDAKIANTAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI


 

Perizinan Pendakian


 

Perizinan Pendakian sebagai bagian dari pengelolaan pengunjung yang bertujuan mewujudkan tertib administrasi sebagai salah satu bentuk pelayanan kepada pengunjung. Fungsi perizinan pendakian berkaitan dengan aspek keabsahan sebagai pengunjung Taman Nasional Gunung Ciremai.


 

Persyaratan Perizinan

Untuk dapat memperoleh Surat Izin Pendakian (SIP) Taman Nasional Gunung Ciremai, maka setiap calon pengunjung diwajibkan melengkapi persyaratan yang ditetapkan oleh Balai TNGC sebagai berikut :

  • Identitas diri yang masih berlaku, berupa :
    • foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku.
    • foto copy Kartu Pelajar yang masih berlaku.
    • foto copy Kartu Mahasiswa yang masih berlaku.
    • foto copy Surat Izin Mengemudi (SIM) yang masih berlaku.
    • foto copy Pasport (khusus bagi WNA) yang masih berlaku.
  • Bagi calon pendaki berumur < 17 tahun, disamping identitas diri tersebut harus menyertakan Surat Izin Orang Tua/Wali dilengkapi copy identitas diri orang tua/wali.
  • Setiap group/kelompok pendaki beranggotakan minimal 3 (tiga) orang.
  • Dengan pemberlakuan system pembatasan jumlah pendaki (quota), selain persyaratan tersebut di atas maka bagi calon pendaki diharuskan menetapkan tanggal pendakian, pintu masuk, dan pintu keluar yang dipilihnya yang nantinya tidak dapat dirubah setelah di terbitkan SIP.
  • Melengkapi diri dengan peralatan, pakaian dan perlengkapan-perlengkapan lain yang memadai


     

  1. Pelayanan Surat Izin Pendakian (SIP)

    Perizinan pendakian terpusat di Kantor Balai TNGC di Kuningan, dan pelayanan SIP dilakukan setiap hari, mulai pukul 08.00 – 15.00 WIB (Bagan proses SIP terlampir). SIP pendakian dikeluarkan oleh Balai TNGC dan ditandatangani oleh Kepala Balai, dan batas waktu izin berada di dalam kawasan maksimum 3 hari 2 malam (60 jam). SIP pendakian tidak dapat dikeluarkan pada saat kawasan TNGC dinyatakan ditutup oleh pejabat yang berwenang.

    Di Balai TNGC, setiap calon pendaki/ketua rombongan yang akan mengurus Surat izin Pendakian (SIP) dapat memperoleh informasi tentang TNGC melalui display, film/slide program, VCD, dan lain-lain sehingga yang bersangkutan dapat menyampaikan pesan-pesan kepada anggotanya.


     

  2. Proses Perizinan

    Perizinan pendakian di TNGC ditetapkan dengan system booking dengan parameter ganda yaitu berdasarkan:

  • Pembatasan Jumlah Pendaki (quota)

    Jumlah pendaki ditetapkan sebanyak 1500 orang setiap harinya (Berdasarkan hasil kesepakatan bersama antara Balai Taman Nasional Gunung Ciremai dengan Mitra, LSM dan Dinas terkait tanggal 25 Juli 2007) dengan perincian menurut pintu masuk resmi sebagai berikut :

    • Pintu Masuk Pos Linggarjati        : 600 Orang per hari
    • Pintu Masuk Pos Palutungan        : 500 Orang per hari
    • Pintu Masuk Pos Apuy            : 400 Orang per hari
  • Waktu booking

    Waktu booking ditetapkan paling lambat 2 hari sebelum hari/tanggal pendakian (selanjutnya disebut sebagai H-2) yang merupakan batas akhir pelayanan Surat Izin Pendakian, hingga satu bulan sebelum hari/tanggal pendakian sebagai batas waktu terlama pelayanan Surat izin Pendakian.

    Contoh :Untuk pendakian tgl 10 Agustus 2009, maka :

  1. Paling lambat / batas pelayanan Surat Izin Pendakian Gunung Ciremai adalah tanggal 8 Agustus 2009;
  2. Paling cepat / batas waktu terlama pelayanan Surat Izin Pendakian adalah tanggal 8 Juli 2009.


     

  1. Proses Perizinan.
    1. Langsung

      Calon pendaki datang langsung ke Pos Pendakian yang telah ditunjuk resmi oleh Balai TNGC dengan menyerahkan persyaratan secara lengkap, membayar karcis masuk dan asuransi, menetapkan tanggal pendakian pintu masuk dan pintu keluar. Surat Izin Pendakian dapat diproses dan dinyatakan keabsahannya setelah ditandatangani oleh ketua/perwakilan calon pendaki dan petugas perizinan. Selanjutnya Surat Izin Pendakian warna putih dan merah diberikan kepada calon pendaki untuk dibawa pada saat kegiatan pendakian, sedangkan lembar Surat Izin Pendakian warna kuning disimpan untuk diarsip perizinan.

    2. Tidak langsung

      Sebelum melakukan booking, calon pendaki dapat memperoleh informasi lewat telepon berkaitan dengan rencana pendakiannya setiap hari, mulai pukul 08.00-15.00 WIB. Selanjutnya calon pendaki mengirimkan foto copy identitas diri peserta melalui faximile dengan disertai keterangan yang pasti meliputi; daftar anggota (nama, umur, jenis kelamin dan pekerjaan), tanggal pendakian, pintu masuk, pintu keluar, dan bukti transfer Bank yang telah ditunjuk oleh Balai TNGC sebagai pembayaran karcis masuk dan asuransi. Selanjutnya Surat izin Pendakian dapat diambil pada hari/tanggal pendakian atau hari/tanggal lainnya dengan ketentuan sebagai berikut :

  • Surat Izin Pendakian (SIP) diambil di Pos Pendakian setiap hari, mulai pukul 08.00-15.00 WIB; apabila hingga batas waktu hari/tanggal berlaku Surat izin Pendakian tidak diambil maka Surat Izin Pendakian dinyatakan gugur dan uang karcis tidak dapat diminta kembali;
  • Menyerahkan foto copy tanda pengenal/bukti diri sesuai dengan daftar nama yang dikirim; nama-nama yang telah ada dalam daftar nama sampai H-2 tidak dapat diganti ataupun dirubah sehingga apabila terdapat ketidaksesuaian maka dianggap gugur dan uang karcis tidak dapat diminta kembali;
  • Menyerahkan bukti asli transfer Bank yang telah ditunjuk oleh Balai TNGC sebagai bukti pembayaran karcis masuk dan asuransi.
  1. Karcis Masuk dan Asuransi Kecelakaan
    1. Karcis Masuk

      Nilai Nominal karcis masuk diatur dan ditetapkan berdasarkan Ketentuan dan Peraturan Perundangan yang berlaku.

    2. Karcis Asuransi

      Setiap pengunjung diwajibkan membeli karcis asuransi kecelakaan.

      Pada setiap lembar karcis baik karcis masuk atau karcis asuransi terdapat nomor seri masing-masing, dan karcis ini akan dipegang oleh pengunjung (tidak dikembalikan kepada petugas) serta merupakan bukti pembayaran yang sah.


       

Pelaksanaan Pendakian


 

Setelah calon pendaki mendapatkan Surat izin Pendakian (SIP), selanjutnya calon pendaki dapat melakukan kegiatan pendakian pada hari/tanggal dan pintu masuk yang ditetapkan/dipilihnya. Mekanisme pelaksanaan pendakian seperti uraian berikut :

  1. Melapor di Pintu Masuk (bagan terlampir)
    1. Waktu melapor mulai pukul 08.00-15.00 WIB setiap harinya;
    2. Menyerahkan surat izin pendakian (lembar putih dan merah) berikut karcis masuk dan asuransi sebagai bukti keabsahan administrasi;
    3. Petugas meneliti dan mengecek data yang tertera pada surat izin meliputi : nomor, nama ketua regu, jumlah anggota, pintu masuk, tanggal pendakian, karcis masuk dan asuransi serta nama-nama pendaki;
    4. Petugas memberi informasi tentang peraturan/tata tertib pendakian;
    5. check packing dilakukan terhadap barang bawaan pengunjung termasuk perbekalan makanan untuk pendakian;
    6. Memberikan validasi (paraf dan tanggal);
    7. Surat izin Pendakian lembar putih berikut karcis masuk dan asuransi diberikan kembali kepada pendaki sebagai bukti yang sah selama aktifitas pendakian, sedangkan lembar merah disimpan di pintu masuk sebagai arsip setelah dicatat datanya ke dalam buku register pendakian (masuk)
    8. Pendaki dianggap sebagai pengunjung pendakian secara resmi sejak masuk kawasan TNGC.
  2. Pada saat pendaki melapor di Pintu Keluar
    1. Waktu melapor mulai pukul 06.00-21.00 WIB setiap harinya;
    2. Mengecek surat izin pendakian (lembar putih dan merah) berikut karcis masuk dan asuransi sebagai bukti keabsahan administrasi;
    3. Meneliti dan mengecek data yang tertera pada surat izin meliputi : nomor, nama ketua regu, jumlah anggota, pintu masuk, tanggal pendakian, karcis masuk dan asuransi serta nama-nama pendaki;
    4. Ketua regu wajib mengecek kelengkapan jumlah anggota;
    5. Check packing dilakukan terhadap barang bawaan pengunjung setelah melakukan pendakian;
    6. Memberikan validasi (paraf dan tanggal);
    7. Surat Izin Pendakian lembar putih diberikan kepada petugas pintu keluar sebagai arsip setelah dicatat datanya ke dalam buku register pendakian (keluar);
    8. Kegiatan pendakian selesai dan para pendaki selesai pula statusnya sebagai pengunjung pendakian TNGC.

      (wid - bca)

10 Maret, 2009

TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI,
“HATI BARU” DARI JAWA BARAT


Ditulis oleh:
Robi Gumilang, S. Hut
Calon Pengendali Ekosistem Hutan-TNGC


Pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di Bali beberapa waktu lalu, banyak yang mempertanyakan keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kawasan hutannya sebagai salah satu paru-paru dunia. Hutan Indonesia secara nyata memberikan sumbangan yang besar bagi ketersediaan daya dukung kehidupan masyarakat internasional, bukan hanya untuk rakyat Indonesia, sehingga kelestarian hutan Indonesia selalu menjadi sorotan dunia internasional dan bahkan menjadi salah satu syarat dalam pemberian bantuan atau kerjasama internasional.

Sebelum konferensi ini digulirkan, pemerintah telah mengambil beberapa langkah maju untuk menjaga kelestarian hutan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat dengan menunjuk kawasan hutan di Gunung Ciremai seluas + 15.500 ha sebagai kawasan taman nasional sesuai SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004, pada tanggal 19 Oktober 2004. Penetapan ini berdasarkan permintaan dari segenap masyarakat dan pemimpin daerah di dua kabupaten yang wilayahnya berbatasan dengan Gunung Ciremai yaitu Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, yang merasa khawatir dengan kondisi kerusakan hutan di Gunung Ciremai yang semakin hari kian memprihatinkan.

Kerusakan paling luas disebabkan pembukaan kawasan hutan di lereng Gunung Ciremai untuk dijadikan lahan pertanian, serta kegiatan eksploitasi lainnya seperti penambangan pasir liar dan pencurian kayu. Jika dilihat dari daerah Kuningan, kawasan hutan hutan yang dijadikan lahan pertanian telah mencapai ketinggian > 1.600 mdpl (LIPI, 2006). Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran terjadinya bencana seperti yang terjadi di daerah lain yang diakibatkan hilangnya kawasan hutan di daerah hulu seperti longsor di Karang Anyar-Jawa Tengah, atau banjir bandang Sungai Bengawan Solo. Bencana tersebut menelan korban jiwa dan merusak berbagai fasilitas penunjang kegiatan masyarakat yang ada. Jika dihitung dari segi materi, kerugian yang ditimbulkan mencapai milyaran rupiah.

TNGC hadir sebagai daya dukung kehidupan baru di wilayah Jawa Barat, melengkapi kawasan pelestarian alam yang telah ada, seperti Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP), Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHH), dll. Penetapan TNGC bukan berarti tanpa halangan. Dengan ditetapkan sebagai taman nasional, maka beberapa kegiatan perekonomian di daerah sekitar kawasan memang dibatasi atau dihilangkan.

Beberapa pihak yang menolak penetapan TNGC, merasa mata pencaharian mereka kini direbut. Berdasarkan penetapan kawasan, beberapa lahan pertanian di lereng Gunung Ciremai memang termasuk dalam kawasan TNGC. Juga karena sebagian lahan dulunya merupakan program PHBM antara masyarakat sekitar hutan dengan Perum Perhutani sebagai pengelola kawasan hutan Gunung Ciremai sebelumnya.

Untuk menciptakan kesepahaman dengan semua pihak, dibutuhkan penanganan yang serius dari berbagai pihak, diantaranya pemerintah daerah, tokoh masyarakat, lembaga swadaya, dan pihak TNGC sendiri untuk memberikan pengertian dan penjelasan tentang betapa pentingnya penetapan kawasan hutan Gunung Ciremai menjadi taman nasional. Hal ini juga harus disertai dengan pembuatan berbagai program yang tepat guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah sekitar kawasan TNGC, baik itu program dari TNGC atau pemerintah dan lembaga lain yang dapat memperluas dan meningkatkan sektor perekonomian yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya alam yang ada di TNGC.

Mengapa TNGC dikatakan daya dukung kehidupan yang baru? Dalam hadits, Rasulullah Muhammad SAW menerangkan bahwa organ terpenting dari tubuh manusia adalah hati. Apabila hati ini rusak, akan mempengaruhi organ-organ yang lain. Hutan bisa diibaratkan sebagai hati, yang mengolah berbagai unsur yang ada di bumi ini dalam bentuk interaksi antar komponen-komponen penyusunnya untuk menghasilkan unsur-unsur pendukung kehidupan seperti air, udara, sumber protein, dll.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, TNGC memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, baik dari jenis flora ataupun fauna, dimana beberapa jenis fauna langka yang statusnya sangat dilindungi, baik oleh pemerintah atau dunia internasional. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), surili (Presbytis comata), macan kumbang (Panthera pardus), merupakan jenis satwaliar yang sangat langka dan dilindungi. Dari penemuan ini juga muncul opini bahwa TNGC dibentuk hanya untuk melindungi satwa-satwa tersebut, bukan untuk kepentingan masyarakat. Apakah betul seperti itu?

Seperti yang telah dijelaskan diatas, hutan TNGC merupakan bentuk dari sebuah ekosistem. Hutan menghasilkan oksigen, air, atau produk lainnya merupakan hasil dari interaksi antar komponen-komponen penyusun ekosistem tersebut. Komponen ekosistem terbagi dari dua bagian yaitu biotik (makhluk hidup; manusia, tumbuhan, satwa,mikroorganisme) dan faktor abiotik (tanah, air, udara, topografi). Interkasi tersebut jika berlangsung seimbang, maka produk yang dihasilkan pun akan tetap tersedia. Namun jika salah satu komponen ekosistem ini hilang, keseimbangan interaksi ini akan terganggu dan akan menghambat produksi unsur-unsur yang dibutuhkan tadi. Jika unsur-unsur tersebut berkurang atau bahkan lenyap, maka kelangsungan hidup dari masyarakat pun akan terganggu, dan itu bukan hanya masalah ekonomi semata. Sehingga penetapan kawasan TNGC bukan hanya sekedar melindungi beberapa jenis satwa, namun lebih jauh adalah untuk kelangsungan hidup masyarakat.

Apakah setelah Gunung Ciremai setelah menjadi taman nasional tidak memiliki nilai ekonomi? Potensi nilai ekonomi berupa jasa lingkungan yang ada dan dihasilkan oleh TNGC sebenarnya lebih besar dari nilai ekonomi fisik yang ada saat ini seperti kayu, lahan pertanian atau hasil buruan, serta bersifat berjangka panjang untuk menunjang keberlanjutan kegiatan ekonomi masyarakat.

Pengelolaan TNGC mengacu pada sistem pengelolaan taman nasional pada umumnya yaitu sistem zonasi, terdiri dari zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan. Di zona pemanfaatan, kegiatan perekonomian masih bisa berjalan seperti wisata alam terbatas, penelitian, pendidikan, dan bahkan kegiatan pertanian namun dalam kondisi yang sangat khusus.

Potensi wisata alam disekitar TNGC memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola dengan baik. Obyek-obyek wisata tersebut diantaranya obyek wisata Lembah Cilengkrang, Telaga Remis, Situ Cibulan, jalur pendakian, Bumi Perkemahan Paniis dan Panteneun, Situ Sangiang, dll. Jika dinilai dengan materi, mungkin sumber pendapatan dari wisata terbatas tadi tidak sebanding hasil yang didapat jika hutan diambil kayunya, digunakan tanahnya untuk lahan pertanian, atau memburu satwaliar yang ada di TNGC. Namun berapa nilai air, udara, serta kenyamanan yang diberikan TNGC bila hutannya tetap lestari? Sangat tidak terhitung.

TNGC merupakan hati baru bagi masyarakat Jawa Barat, bahkan umat manusia. Jika hati ini tetap dijaga, maka kehidupan masyarakat pun akan tetap terjaga. Hutan memang memiliki kemampuan untuk memulihkan kondisi lingkungannya terhadap kerusakan yang terjadi. Namun bila kerusakan tersebut sudah melampaui kemampuan regenerasinya, maka lambat laun hati itu akan rusak, dan bisa menyebabkan “kematian”, bagi hutan itu sendiri atau komponen dari ekosistemnya, salah satunya adalah kita, manusia. Pemanfaatan yang bijak dapat membawa kesejahteraan, bukan hanya kita tetapi juga makhluk yang lain, sesuai dengan takdir manusia yaitu menjadi khalifah di bumi ini. (robi)