Oleh: Tri Widodo, S.Si., M.Sc.
Hutan sebagai satu kesatuan lanskap merupakan satu kesatuan fungsi bersama-sama dengan lingkungan diluar kawasan hutan. Hutan memiliki manfaat ekonomi yang dapat dikuantifikasi (tangible benefits) dan manfaat ekonomi yang bersifat kualitatif (intangible benefit) (Andayani, 2007). Hutan memiliki banyak fungsi dan dapat diibaratkan sebagai basket of function (Fandeli dan Muhammad, 2009).
Mull (1995) dalam Fandeli dan Muhammad (2009) memperkenalkan konsep pengelolaan critical mass strategy dari suatu kawasan hutan. Konsep Mull (1995) menyatakan pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan semua fungsinya dan dapat disimulasikan dengan menggunakan berbagai model. Hutan memiliki peran yang sangat kompleks terhadap kehidupan, dimana masing-masing peran harus seimbang, baik untuk aspek lingkungan, sosial maupun aspek ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang berlaku dalam proses produksi atau pemanfaatan sumber daya hutan memiliki peranan ekonomi yang tidak langsung seperti jasa (service) untuk pariwisata, rekreasi alam, mencegah erosi, banjir dan sebagai daerah tangkapan air. Semua sumber daya hutan yang bernilai kualitatif tersebut jika tidak dikelola dengan benar akan terjadi kelangkaan. Sehingga, nilai hutan yang bersifat kualitatif tetap berlaku hukum penawaran dan permintaan seperti halnya komoditi sumber daya hutan lainnya yang bersifat kuantitatif (Andayani, 2007).
Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) dengan potensi keanekaragaman hayati yang dimilikinya berperan sebagai kawasan sistem penyangga sistem kehidupan, terutama sebagai sumber hidrologis air dan pengatur tata air. hidrologis utama bagi masyarakat Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan dan Brebes. Namun, sampai saat ini belum ada data yang pasti tentang jumlah dan debit dari sumber mata air yang bersumber dari Gunung Ciremai.
Menurut Bapeda Kuningan (2002) yang dikutip Irawan, D.E. et. al (2009) ditemukan sebanyak + 119 mata air dengan debit 10-100 liter/detik. Irawan, D.E. et.al. (2009) sendiri telah melakukan penelitian tahun 2009, telah mengidentifikasi sebanyak 247 mata air yang bersumber dari Gunung Ciremai dengan debit sekitar 3,68 s/d 40,33 liter/ detik. Menurut H. Kamdan, SE. yang dikutip dari harian umum pikiran rakyat menyatakan bahwa (Direktur PDAM Tirta Kemuning Kuningan), berdasarkan pendataan terbaru terdapat 370 titik mata air dengan debit sekitar 6.223 liter per detik, terutama yang berada di kawasan Gunung Ciremai.
Tingginya potensi sumber mata air gunung ciremai ini, menjadikan gunung ciremai sebagai salah satu “menara air” yang potensial di Jawa Barat. “Menara air” tersebut memberi penghidupan kepada jutaan penduduk daerah kabupaten Kuningan, Kabupaten dan Kota Cirebon, serta sebagian mengaliri kabupaten Brebes dan Tegal Provinsi Jawa Tengah. Selain itu Gunung Ciremai merupakan salah satu hulu dari 7 (tujuh) daerah aliran sungai (DAS), yaitu Jamblang, Pekik, Subah, Bangkaderes, Cisanggarung, Cimanuk dan Ciwaringin. Muara Cimanuk berada di Ujung Indramayu sedangkan muara Cisanggarung di perbatasan Jawa Tengah di daerah Losari. Sehingga pengaruh daerah tangkapan air di Ciremai cukup luas, meliputi ujung Ujung Indramayu - Waduk Darma - Losari. Gunung Ciremai merupakan daerah tangkapan air yang sangat penting untuk pertanian dan industri bagi masyarakat Kabupaten Kuningan, Cirebon dan Indramayu serta air baku rumah tangga bagi masyarakat kota Cirebon (Noerdjito dan Mawardi, 2008).
Dari potensi yang ada, sumber mata air tersebut belum dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, baru sebagian kecil yang sudah dimanfaatkan seperti sumber mata air Paniis yang selama ini dimanfaatkan PDAM Kota Cirebon yaitu sebanyak 860 lt/detik setara dengan 2,2 juta meter kubik per bulan dan akan ditambah lagi sebanyak 600 liter per detik sehingga menjadi 1.260 liter/detik. Begitu pula PDAM Kab.Cirebon yang selama ini memanfaatkan sumber mata air di kawasan TNGC yang mencapai ± 400 liter/detik dan rencananya akan menambah kembali , meminta tambahan lagi sebanyak 220 liter/detik sehingga menjadi 620 liter/detik (Pikiran Rakyat, 2010). Perkembangan selanjutnya, dari sumber mata air di kawasan TNGC akan dibangun program system penyediaan air minum yang diberi nama KUNCIR 2 untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat Kuningan, Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon.
Demikian pentingnya kKeberadaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai, sebagai hulu dari sumber mata air tersebut, namun sampai saat ini masih dipandang hanya sebagai daerah tangkapan air yang harus dilindungi dan diawetkan agar manfaatnya lestari, sedangkan namun nilainya dari potensi, fungsi dan manfaatnya belum pernah dihitung dan diperhatikan. Pendataan dan penilaian terhadap sumber mata air yang terdapat ada didalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai sampai saat ini belum pernah dilakukan oleh Balai TNGC. Mengingat pentingnya Ppendataan dan penilaian sumber mata air perlu sebagai salah satu dasar dalam perencanaan perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi,. maka Oleh karena itu, pada tanggal 15 s/d 16 November 2011, Balai TNGC mengadakan pelatihan Valuasi Ekonomi dan Monitoring Jasa Lingkungan yang menitik beratkan pada valuasi ekonomi dan monitoring sumber daya air dari dalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dalam kegiatan tersebut dilakukan aplikasi penilaian terhadap salah satu sumber mata air di kawasan TNGC.
Hasil penilaian valuasi ekonomi dan monitoring jasa lingkungan dengan studi kasus di sumber mata air Balong Dalam, Desa Sukamulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan menunjukkan bahwa sumber air Balong Dalam pada saat pengukuran memiliki debit air sebesar 8 liter /detik, sumber air tersebut selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan rumah tangga, sawah, kolam, dan usaha wisata. Dari fungsi dan manfaat sumber air Balong Dalam, dalam penlaian valuasi ekonomi hanya dihitung dari salah satu aspek saja yaitu fungsi ekonomi untuk keperluan rumah tangga. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai ekonomi sumber air Balong Dalam dari aspek keperluan rumah tangga diperoleh nilai sebesar Rp.4.815.684.450,00. (empat milyar delapan ratus lima belas juta enam ratus delapan puluh empat ribu empat ratus lima puluh rupiah), nilai ini belum termasuk untuk keperluan lain (sawah, kolam dan usaha wisata). Hasil penilaian ini menunjukkan bahwa potensi kawasan TNGC memiliki nilai ekonomi yang tidak sedikit yang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya. Keberadaan kawasan TNGC ternyata mampu mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat untuk keperluan rumah tangga, mengairi sawah, kolam dan usaha wisata alam.
Daerah aliran sungai merupakan satuan wilayah tangkapan air (Catchman area) yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau dan laut serta mengisi air bawah tanah (Njurumana, et.al., 2006). Pengertian DAS seperti dikemukakan oleh Asdak (1995, 2002) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Karena DAS sebagai sebuah ekosistem, maka terjadilah interaksi antara berbagai faktor penyusunnya seperti faktor abiotik, biotik dan manusia. Sebagai ekosistem, pasti dijumpai adanya masukan (input) dan segala proses yang berkaitan dengan masukan tersebut dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) yang dihasilkan. Bila curah hujan dipandang sebagai unsur masukan dalam ekosistem DAS, maka luaran yang dihasilkan adalah debit air sungai, penambahan air tanah dan limpasan sedimentasi sedangkan komponen lain seperti tanah, vegetasi, sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor (Suripin, 2002).
Hutan menghasilkan beberapa manfaat lingkungan dan melindungi yang lainnya. Beberapa dari manfaat ini tidak mudah diverifikasi atau dipasarkan, namun dapat menimbulkan resiko biaya bilamana manfaat ini hilang atau tidak tersedia. Walaupun relatif mudah digambarkan, jasa lingkungan rumit untuk dikuantifikasi, diukur, dan diatributkan/ diterapkan pada sumber-sumber yang spesifik atau ciri-ciri pengelolaan lingkungan atau lahan (CIFOR, 2006).
Hutan konservasi menghasilkan sebagian besar dari manfaat jasa lingkungan yang sama seperti yang dihasilkan hutan lindung, namun hutan konservasi khusus diperuntukkan bagi perlindungan keanekaragaman hayati, serta untuk memperoleh manfaat-manfaat yang kurang nyata, atau produk-produk publik global, seperti estetika dan nilai-nilai warisan (CIFOR, 2006).
Hilangnya hutan dianggap sebagai satu-satunya penyebab hilangnya fungsi hidrologi DAS dan masyarakat yang tinggal di pegunungan seringkali dianggap sebagai penyebab rusaknya lingkungan. Padahal, banyak daerah di Indonesia dan Asia Tenggara yang memiliki keindahan alam luar biasa namun tetap memiliki fungsi DAS yang baik meskipun tidak lagi mempunyai hutan alam yang luas. Terpeliharanya kondisi DAS terjadi karena aliran sungai dikelola dengan baik, apalagi didukung oleh insititusi sosial yang menjaga keseimbangan antara kepentingan umum maupun individu. Masyarakat telah menyadari bahwa dengan menanam pohon pohon bernilai ekonomi di sela-sela sistem pertanian berarti mereka telah mempertahankan DAS karena pepohonan mampu menjaga kestabilan lereng perbukitan dan menahan hilangnya tanah akibat erosi dan aliran air. Berhasil tidaknya masyarakat dalam mengelola lanskap suatu DAS dipengaruhi oleh faktor-faktor yang saling berinteraksi, diantaranya:
a. Jumlah penduduk (beserta ternak) dan bagaimana mereka saling berinteraksi, termasuk interaksinya dengan pemerintah daerah. Sebagai contoh, apakah mereka mempunyai aturan adat dan apakah aturan adat tersebut masih mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari
b. Sistem penggunaan lahan atau jenis tutupan lahan dapat berbentuk hutan alam, hutan bekas tebangan, tanaman pangan, pohon bernilai ekonomis, padang rumput dan pematang yang ditanami makanan ternak, jalan dan jalan setapak serta perumahan
c. Kondisi tanah, seperti tingkat kepadatan tanah, tingkat penutupan tanah oleh lapisan seresah, organisme tanah dan perakaran tumbuhan yang berperan dalam menjaga struktur tanah dari pemadatan
d. Topografi lahan dan geologi tanah yang berkaitan dengan kecuraman lereng, bukti adanya pergerakan tanah, sejarah geologi, gempa bumi dan gunung meletus, keseimbangan antara pembentukan tanah dan erosi
e. Iklim dan cuaca yang berkaitan dengan curah hujan dan pola musim, siklus harian cahaya matahari dan intensitas hujan (hujan lebat, gerimis), pola aliran sungai yang mengikuti pola bebatuan dan perbukitan, ada tidaknya 'meandering' (pembetukan kelokan sungai) yang menyebabkan sedimentasi tanah yang mungkin berasal dari erosi dan tanah longsor, yang dianggap merusak di masa lalu, namun akhirnya menjadi lahan yang subur (Rahayu, et al. 2009)
Maksud kegiatan pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kinerja pegawai Taman Nasional Gunung Ciremai dalam menjaga dan melestarikan kawasan hutan dengan memberikan pengetahuan kepada peserta tentang valuasi ekonomi dan monitoring sumber daya hutan yang bersifat intangible (Jasa Lingkungan) yang dibatasi pada pemanfaatan sumber daya air dari dalam kawasan konservasi (TNGC). Sedangkan tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah agar peserta kegiatan memahami konsep dasar teori hidrogeologi terkait dengan Gunung Ciremai sebagai daerah tangkapan air, memahami bagaimana mengukur debit air dan menilai kualitas sumber daya air yang dihasilkan dari kawasan konservasi, dan mendapatkan pengetahuan dasar valuasi ekonomi pemanfaatan sumber daya air dari dalam kawasan TNGC.
Pengajar pelatihan ini diambil dari dosen yang berkompeten dengan bidangnya, yaitu Dr. D. Erwin Irawan (dosen Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB) yang memberikan materi khusus tentang teori hidrogeologi dan pengukuran debit air dan Deni, S.Hut. (Dosen Fakultas Kehutanan UNIKU), memberikan materi tentang valuasi ekonomi jasa lingkungan sumber daya air. Selain teori, dilakukan praktek pengukuran debit dan kualitas air serta melakukan valuasi ekonomi pemanfaatan sumber daya air dengan lokasi praktek di sumber mata air yang ada di Bumi Perkemahan Balong Dalam yang terletak di Desa Babakan Mulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan. Pada akhir pelatihan 78,26% peserta menyatakan bahwa materi pelatihan tentang valuasi ekonomi dan monitoring jasa lingkungan cukup membantu untuk pelaksanaan tugas-tugas dilapangan. Dan diharapkan hasil dari pelatihan ini dapat diterapkan dalam memantau sumber mata air yang ada didalam kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
1 komentar:
sebagai pecinta alam saya mendukung pelestarian hutan sebagai sumber air, mohon ijinnya saya membaca dan mengcopy artikel2 dari web ini,dan jika ada referensi tentang sungai cijolang saya tunggu terima kasih, salam hangat dari saya pemerhati sungai cijolang
Posting Komentar